Orang tua dapat menangani fobia sekolah atau putus sekolah dengan berbagai cara, termasuk:
1. Tetap Tekankan Pentingnya Kehadiran di Sekolah
Pakar parenting dan psikolog mengatakan bahwa terapi terbaik untuk fobia sekolah adalah sekolah setiap hari (terapi terbaik untuk fobia sekolah adalah sekolah harian). Karena rasa takut harus diatasi dengan bertatap muka. Menurut para ahli ini, harus pergi ke sekolah setiap hari juga menjadi obat tercepat untuk mengatasi masalah fobia sekolah, karena ketidaknyamanan berkurang setiap hari. Semakin lama seseorang "diizinkan" meninggalkan sekolah, semakin sulit untuk kembali ke sekolah dan semakin intens gejalanya. Dengan membiarkan mereka keluar dari sekolah, anak akan kehilangan lebih banyak kelas dan merasa lebih sulit untuk menyesuaikan diri dengan teman-temannya.
Kemungkinan besar, anak akan mencoba bernegosiasi dengan orang tua, menguji keteguhan dan keteguhan orang tua. Jika suatu hari orang tua "meleleh", keesokan harinya anak mengulangi gambar yang sama. Tetap hangat, pengertian, tetapi tegas dan bijaksana, meyakinkan anak Anda bahwa segala sesuatunya akan menjadi lebih baik ketika ia mulai sekolah.
2. Berusaha tegas dan konsisten dalam menanggapi keluhan, jeritan, amarah atau segala bentuk kemarahan dari anak yang tidak mau sekolah.
Karena pusing saat mendengar suara bayi, atau karena sangat khawatir dengan kesehatan bayi, orang tua seringkali menuruti permintaan bayi tersebut. Tindakan ini tentu saja tidak sepenuhnya benar. Jika seorang anak bangun di pagi hari dalam keadaan segar dan sehat dan dapat melarikan diri dari rumah atau sarapan, tetapi tiba-tiba putus sekolah, orang tua tidak boleh setuju dengan posisi "berdagang" dan membawanya langsung ke sekolah. Penting untuk diingat bahwa jika anak ingin pergi ke sekolah, hubungan hadiah yang menjanjikan dihindari, karena ini adalah contoh kebiasaan buruk (keinginan untuk pergi ke sekolah jika hadiah diberikan). Anak-anak tidak akan tahu mengapa mereka harus pergi ke sekolah dan terbiasa memanipulasi orang tua/lingkungan mereka. Anak-anak akan tahu bagaimana menggunakan taktik atau strategi tertentu untuk mencoba dan memuaskan keinginan mereka.
Jika seorang anak terlambat, mereka tetap harus pergi ke sekolah dengan didampingi oleh orang tuanya jika diperlukan. Kalaupun anak datang ke sekolah dan ingin pulang, orang tua harus tetap tabah dan bekerja sama dengan guru untuk menenangkannya sehingga akhirnya bisa merasa nyaman kembali. Saat anak berteriak, menangis, marah, marah, atau bertingkah aneh, orang tua perlu bersabar. Bawa anak ke tempat yang tenang dan bicaralah dengan lembut sampai kecemasan dan ketakutan itu mereda/menghilang; dan setelah itu anak kembali ke kelas. Situasi ini dialami secara berbeda dari orang ke orang, tergantung pada bagaimana orang tua dapat menenangkan dan mendekatkan anak-anak mereka. Namun, jika orang tua tidak dapat mengatasi perilaku anak mereka, cari bantuan dari guru atau orang tua lain yang tahu bahwa mereka cukup dekat dengan anak. Terkadang kehadiran mereka memberi anak-anak kapasitas yang lebih besar untuk mengendalikan diri.
3. Temui dokter anak Anda
Jika orang tua tidak yakin dengan kesehatan anak mereka, segera bawa ke dokter untuk melihat apakah anak memiliki masalah kesehatan. Orang tua tentu lebih peka setiap hari terhadap situasi anak-anak mereka; perubahan sekecil apapun biasanya mudah diperhatikan oleh orang tua. Jadi, jika anak mengeluhkan sesuatu di tubuhnya (pusing, mual, dll), orang tua bisa membawanya ke dokter yang buka jam kerja pagi, setelah itu anak bisa kembali ke sekolah. Selain itu, dokter juga dapat membantu orang tua mendiagnosis apakah kelainan yang dialami anak merupakan tanda stres sekolah atau disebabkan oleh penyakit lain yang memerlukan penanganan yang cermat.
4. Bekerja dengan guru kelas atau asisten sekolah lainnya
Pada umumnya guru sudah terbiasa menghadapi fobia sekolah atau masalah putus sekolah (terutama guru TK). Hampir setiap musim sekolah datang, ada siswa yang mogok atau menangis, tidak mau pergi atau bahkan meminta pulang. Orang tua dapat meminta guru atau asisten sekolah untuk menenangkan anak, misalnya dengan mengajaknya ke perpustakaan, mengajaknya beristirahat di tempat yang tenang, atau guru dapat berdiskusi dengan anak yang lebih besar. pada seorang anak. Seorang guru yang bijaksana jelas bersedia untuk lebih menekankan pada pemulihan stabilitas emosi anak yang sakit dengan membantu anak mengatasi masalah yang mereka alami yang mengarah pada kegugupan, kegelisahan dan kegelisahan. Selain itu, berbicara dengan guru tentang faktor penyebab di sekolah (misalnya ejekan, pemukulan, dll.) dari teman merupakan langkah yang membantu dalam memahami situasi yang dihadapi anak sehari-hari.
5. Luangkan waktu untuk mengobrol/berbicara dengan anak
Luangkan waktu untuk berbicara secara detail dan perlahan tentang apa yang membuat anak Anda ingin pergi ke sekolah karena takut, gugup, atau enggan. Jangan curiga atau malah curiga dengan perkataan anak Anda. Cara ini membawa anak lebih dekat dengan orang tua sampai masalahnya terpecahkan. Orang tua perlu mengungkapkan kesediaan mereka untuk membantu anak-anak mereka dan membantu mereka mengatasi ketakutan mereka akan sesuatu, bahkan jika masalahnya ada di rumah. Orang tua perlu belajar dan, jika perlu, mengubah sikap mereka untuk memperbaiki situasi di rumah.
Orang tua juga dapat mengajari anak-anak mereka cara atau strategi untuk menghadapi situasi menakutkan. Lebih baik menawarkan strategi pemecahan masalah kepada anak-anak daripada mendorong mereka untuk menghindari masalah, karena anak-anak lebih bergantung pada orang tua mereka, kurang percaya diri, kurang pemalu, dan kurang termotivasi untuk memecahkan masalah mereka.
6. Lepaskan anak secara bertahap
Pengalaman pertama di sekolah tentu saja membuat anak ketakutan, apalagi ia harus berada di lingkungan baru yang masih asing dan tidak bisa mengontrol dirinya seperti di rumah. Tak heran jika banyak anak yang menangis dan menjerit saat ibunya mengantar mereka ke sekolah. Dalam hal ini, orang tua harus membiarkan anaknya menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Di beberapa sekolah, orang tua/wali dapat masuk kelas selama 1-2 minggu atau sampai batas waktu yang ditentukan oleh sekolah. Lepaskan anak secara bertahap, misalnya beberapa hari pertama orang tua berada di kelas, dan seiring waktu mereka secara bertahap meninggalkan kelas, tetapi tetap berada di bidang penglihatan anak. Ketika anak merasa nyaman dengan lingkungan baru dan tampak “bahagia” dengan teman-temannya, maka sudah saatnya juga bagi orang tua untuk meninggalkan kelas dan berhenti bersikap overprotektif terhadap orang tuanya demi mendapatkan kepercayaan dan kemandirian anak untuk maju.
7. Jika masalah berlanjut, hubungi psikolog/konselor.
Jika seorang anak tidak dapat mengatasi fobia sekolahnya untuk waktu yang lama, ini adalah masalah psikologis yang harus ditangani secara proporsional oleh spesialis. Bahkan jika fobia sekolah ini menyebabkan anak-anak ketinggalan kelas, mendapat nilai buruk dan hambatan yang kuat untuk penyesuaian, masalah ini akan diselesaikan dalam waktu singkat. Konselor akan membantu Anda menemukan ketakutan, ketakutan, dan elemen lain anak yang tidak dipikirkan oleh keluarga tetapi berasal dari keluarga (misalnya ketakutan akan nilai jelek, kekerasan ayah). Oleh karena itu, konselor/psikolog biasanya meminta partisipasi aktif orang tua dalam menyelesaikan masalah anaknya. Oleh karena itu, orang tua perlu belajar mengenal diri sendiri dan mengevaluasi perannya sebagai orang tua berdasarkan permasalahan yang dihadapi anaknya.
Oleh karena itu, masalah mogok sekolah seharusnya tidak menjadi masalah yang serius (kecuali ada masalah kesehatan yang serius). Namun, jika tidak diobati, itu bisa menjadi masalah serius.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Pengaruh Kesehatan Mental
Dampak kesehatan mental pada dunia kehidupan Ketenangan hidup (ketenangan atau kebahagiaan batin) tidak hanya bergantung pada kondisi sos...
-
Pernikahan Kati Sharon Yang Terlihat Runtu Mewah Menuat Suasana Samakin Mary Deppadukan Dengan Warna Warna Kemilawu Gaun Pengatin Yan Kathy...
-
Kecacatan perkembangan, terutamanya dalam kalangan kanak-kanak yang mempunyai komunikasi, interaksi sosial dan autisme, menyebabkan kebanya...
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.